Sabtu, 26 Februari 2011
Hukum Waris Pada Janin (Bayi yang masih dalam kandungan ketika Ayahnya Meninggal)
10.28 |
Diposting oleh
Ahmad |
Edit Entri
DEFINISI
Kandungan (hamlu) adalah anak yang dikandung di perut ibu. Kandungan di sini dari segi pewarisan dan batasan lamanya dalam kandungan sehingga cuku syarat untuk mendapatkan warisan.
HUKUMNYA DALAM PEWARISAN
Kandungan itu adakalanya lahir dari perut ibu dan adakalanya tetap di dalam perutnya. Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai hukum-hukumnya sendiri, dan akan kami sebutkan berikut ini :
KANDUNGAN YANG LAHIR DARI PERUT IBU
Apabila kandungan lahir dari perut ibu, maka adakalanya ia lahir dalam keadaan hidup dan adakalanya dalam keadaan mati. Apabila ia lahir dalam keadaan mati, maka kemungkinan lahirnya bukan karena tindak pidana dan permusuhan terhadap sang ibu, dan kemungkinan disebabkan tindak pidana terhadap sang ibu.
Apabila dia lahir dalam keadaan hidup, maka bisa menerima waris; karena adanya riwayat dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda:
"Apabila anak yang dilahirkan itu menangis, maka dia diberi warisan".
Istihlaal artinya jeritan tangisan bayi; maksudnya ialah bila nyata kehidupan anaka yang lahir itu, maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah suara, nafas, bersin, atau yang serupa dengan itu.
Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i dan sahabat-sahabat Abu Hanifah.
Apabila kandungan lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana yang dilakukan terhadap ibunya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi.
Apabila dia lahir dalam keadaan mati disebabkan tindak pidana yang dilakukan terhadap ibunya, maka dalam keadaan demikian, dia mewarisi dan diwarisi menurut orang-orang Hanafi.
Sedang mazhab Syafi'i, Hambali, dan Malik berpendapat bahwa dia tidak mewarisi sedikitpun, akan tetapi dia mendapatkan ganti rugi saja karena darurat.
Dia tidak mendapatkan selain itu. Ganti rugi ini diwarisi oleh setiap orang yang berhak mendapat warisan darinya.
Al-Laits bin Sa'd dan Robi'ah bin 'Abdurrahman berpendapat bahwa janin itu bila lahir dalam keadaan mati disebabkan tindak pidana terhadap ibunya, maka dia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi; akan tetapi iibunya mendapat ganti rugi.
Ganti rugi itu diberikan kepada ibunya, karena tindak pidana itu menimpa sebagian dari dirinya, yaitu si janin. Dan bila tindak pidana itu hanya menimpa diri si ibu saja, maka ganti ruginya pun hanya untuk dirinya.
Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini.
KANDUNGAN YANG BERADA DALAM PERUT IBU
1 Kandungan yang masih berada dalam perut ibu tidak bisa menahan sebagian harta peninggalan, bila dia bukan pewaris atau terhalang oleh orang lain dalam segala keadaan.
Apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang isteri, seorang ayah dan seorang ibu yang hamil yang bukan dari ayahnya, maka kandungan yang demikian tidak mendapatkan warisan; sebab dia tidak akan keluar dari keadaannya sebagai saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, sedang saudara laki-lakiatau saudara perempuan seibu tidak mewarisi dengan adanya ayah.
2 Semua harta peninggalan ditahan sampai kandungan dilahirkan, bila dia pewaris dan tidak ada seorang pewarispun yang ada bersamanya, atau ada seorang pewaris tetapi terhalang olehnya. Demikian kesepakatan para fuqoha.
Demikian pula semua harta peninggalan ditahan bila bersamanya terdapat ahli waris yang tidak terhalang, akan tetapi mereka semua merelakan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, untuk tidak membagi warisan secara segera, misalnya mereka diam saja atau tidak menuntutnya.
3 Setiap ahli warisyang mempunyai fardh (bagian) tidak berubah dengan berubahnya kandungan, maka dia mendapatkan bagiannya secara sempurna, dan sisa-nya ditahan.
Misalnya, bila si mayit meninggalkan seorang nenenk dan seorang isteri yang hamil, maka nenek mendapatkan bagian seperenam karena bagiannya tidak berubah, baik anak yang akan dilahirkan itu laki-laki ataupun perempuan.
4 Pewaris yang gugur dengan salah satu dari dua keadaan kandungan dan tidak gugur dengan keadaan lain, tidak diberi bagian sedikitpun karena hak kewarisannya itu meragukan.
Misalnya, bila mayit meninggalkan seorang isteri yang hamil dan seorang saudara laki-laki, maka saudara laki-laki itu tidak mendapatkan sesuatu, sebab mungkin kandungan yang akan lahir itu laki-laki. Demikian mazhab jumhur.
5 Ashabul furudh yang berubah bagiannya karena kandungan yang akan dilahir kan itu laki-laki atau perempuan, diberi bagian yang minimal dari dua kemungkinan tersebut, dan yang di dalam kandungan diberi bagian yang maksimal dari kedua kemungkinan di atas kemudian ditahan sampai ia lahir. Bila kandungan
yang dilahirkan itu hidup, dan ternyata ia berhak memperoleh bagian yang lebih besar, maka tinggal mengambilnya. Dan bila dia tidak merhak memperoleh bagian yang lebih besar dan hany berhak memperoleh bagian yang minimal, maka dia mengambilnya; dan sisanya dikembalikan kepada ahli waris. Apabila dia lahir dalam keadaan mati, maka dia tidak berhak sedikitpun; dan semua harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris tanpa memeperhatikan kandungan itu.
BATAS WAKTU MAKSIMAL DAN MINIMAL BAGI KANDUNGAN
Batas waktu minimal terbentuknya janin dan dilahirkan dalam keadaan hidup adalah enam bulan, karena firman Allah SWT:
"Dan mengadungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan" (S. Al-Ahqoof 15)"Dan menyapihnya dalam dua tahun" (S. Luqmaan 14).
Apabila menyapihnya dua tahun, maka tidak ada sia lagi selain enam bulan untuk mengandung. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur fuqoha.
Berkata Al-Kamal ibnul Hamam, salah seorang imam golongan Hanafi,
"Sesungguhnya kebiasaan yang berlaku ialah bahwa keadaan kandungan itu lebih banyak dari enam bulan, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun pun tidak didengar adanya kelahiran kandungan dalam umur enam bulan."
Pendapat sebagian orang-orang Hambali ialah batas waktu minimal dari kandungan adalah sembilan bulan.
Undang-undang Warisan Mesir bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dan mengambil pendapat dari sebagian orang-orang Hambali dan pendapat para dokter resmi, yaitu bahwa batas minimal dari kandungan adalah sembilan bulan Qomariyah yakni 270 hari, karena yang demikian itu sesuai dengan apa yang banyak sekaliterjadi.
Sebagaimana mereka berselisih pendapat tentang batas minimal waktu mengandung, maka merekapun berselisih pula tentang batas maksimalnya. Di antara mereka ada yang berpendapat dua tahun. Ada pula yang berpendapat sembilan bulan.
Sedang yang lainnya mengatakan satu tahun Qomariyah (354 hari). Dan undang-undang yang disarankan oleh para dokter resmi.
Maka disebutkanlah bahwa batas waktu maksimal dari kandungan adalah satu tahun Syamsiyyah (365 hari); dan yang demikian ini dipegangi dalam menatapkan nasab,pewarisan, wakaf dan wasiat.
Adapun undang-undang warisan, maka ia mengambil pendapat Abu Yusuf yangmemberikan fatwa pada mazhab bahwa kandungan itu diberi bagian maksimal dari dua kemungkinan dan mengambil pendapat tiga orang imam dalam mempersyaratkandilahirkannya kandungan secara keseluruhan dalam keadaan hidup untuk dapat memperoleh hak warisannya.
Undang-undang juga mengambil pendapat Muhammad ibnul Hikam yang menyatakanbahwa kandungan itu tidak mewarisi kecuali bila dia dilahirkan dalam batas waktu satu tahun sejak tanggal kematian atau perceraian antara ayahnya dan ibunya.
Termuat dalam fasal-fasal 42, 43, dan 44 sebagai berikut :
Fasal 42: Ditahan demi kandungan harta peninggalan si mayit yaitu dua bagianmaksimal menurut perkiraan bahwa yang dilahirkan itu laki-laki atau perempuan.
Fasal 43: Bila seorang laki-laki mati dengan meninggalkan isterinya yang sedang 'iddah, maka kandungannya tidak dapat mewarisi kecuali bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup, dan masa kelahiran maksimal 365 haridari tanggal kematian atau perceraian. Kandungan tidak mewarisi selain ayahnya, kecuali dalam dua
keadaan berikut :
1 Bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 365 hari dari tanggal kematian atau perceraian, bila ibunya ber'iddah karena kematian atau perceraian, dan orang yang mewariskan mati di tengah 'iddah.
2 Bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 270 hari dari tanggal kematian orang yang mewariskan, jika dia lahir dari perkawinan yang masih utuh di saat kematian.
Fasal 44: Apabila yang ditahan untuk kandungan itu kurang dari hak yang semestinya diterima, maka ahli waris yang mendapatkan bagian wajib mengembalikan sisanya untuk sang janin. Dan bola yang ditahan untuk kandungan itu lebih dari hak yang semestinya diterima, maka kelebihan itu dikembalikan kepada ahli waris
yang berhak menerimanya.
Label:
16. Al-HAMLU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: Telah bersabda Rosululloh saw: "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang berselisih tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan sseorang yang memberitahukannya kepada keduanya" (HR Ahmad).
Bahasan Ilmu Faroidh / Ilmu Waris
Definisi
Legalitas Ilmu Faroidh
Keutamaan Ilmu Faroidh
Peninggalan (Tirkah)
Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan
Rukun Waris
Sebab-Sebab Memperoleh Warisan
Syarat-Syarat Pewarisan
Penghalang-Penghalang Pewarisan
Orang-Orang Yang Berhak Menerima Warisan
Ashhaabul Furuudh
'Ashobah
Hajbu Dan Hirman
'Aul
Rodd
Kandungan (Hamlu)
Legalitas Ilmu Faroidh
Keutamaan Ilmu Faroidh
Peninggalan (Tirkah)
Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan
Rukun Waris
Sebab-Sebab Memperoleh Warisan
Syarat-Syarat Pewarisan
Penghalang-Penghalang Pewarisan
Orang-Orang Yang Berhak Menerima Warisan
Ashhaabul Furuudh
'Ashobah
Hajbu Dan Hirman
'Aul
Rodd
Kandungan (Hamlu)
0 komentar:
Posting Komentar